Saya memiliki seorang kakek dari ibu yang bernama Pair,
kata nenekku dulu “wong biyen ngunu lek njenengno anake gak koyok wong saiki,
lek biyen ngunu njenengno anake yo pas lahir e ono opo yo dijenengno iku” jadi
nama kakek ku pair itu diambil dari weton kelahiranya pahing dan dinamai pair.
Kakek ku ini lahir di kota Malang di daerah Bawang (kalau sekarang didaerah
belakang Univ. Muhammadiyah Malang) beliau termasuk anak yatim, semenjak kecil
sudah ditinggal mati ibunya, dan bapaknya bernama Pak Timbang, sangat dihormati
di daerah Bawang dan sekitarnya karena menurut keterangan dari ibuku bapaknya
kakek ku ini seorang penarik pajak diawal jaman kemerdekaan dulu, selain itu
beliau juga memiliki tanah dan sawah yang luas didaerah tersebut. Seingat saya
kakeku ini anak nomer dua dari dua bersaudara (maklum lupa).
Menurut cerita ibuku, setelah bapak timbang meninggal dan saudara kandungnya meninggal juga, kakek ku diasuh oleh saudara dari bapaknya (pak Timbang). Harta, sawah dan tanah-tanahnya yang banyak itu jika menurut hukum agama dan negara otomatis diserahkan ke kakek ku, tetapi saat itu kakek ku masi kecil dan belum cukup umur maka semua “harta” tersebut dititipkan pada saudaranya pak Timbang yang membesarkan kakek ku tersebut. Setelah kakek ku besar dan menikah dengan nenek ku yang bernama Marni, beliau pindah rumah dan hidup sendiri di daerah Dinoyo. Pernah suatu hari beliau bercerita pada anaknya termasuk ibuku, mengenai hartanya itu tapi beliau dengan berwibawa dan keluhuran budinya kurang lebih berkata “jika suatu hari bapak (Pair) tidak ada tidak usah mengurusi harta warisan Bapakmu, saya doakan mudah-mudahan semua anak-cucuku dimampukan Tuhan agar mampu membeli rumah dan tanah sendiri-sendiri”. Sejak itulah anak-anak beliau tidak pernah mengurusi harta kekayaan warisan yang dititipkan bapaknya (Pak Timbang) pada saudaranya itu, walau beliau sendiri dan anak-anaknya benar-benar hidup dalam keterbatasan. Pernah suatu hari kekeku berkata pada anak cucunya, “dulu jaman belanda tidak bisa makan se enak ini” padahal saya lihat waktu itu makananya berupa nasi empok (nasi jagung),sayur bening/bayam, lauk ikan asin dan sambel trasi, kadang juga kekek ku ini jika perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi, beliau mengambil nasi yang sudah matang tapi sayur dan lauknya belum dimasak, setelah itu sepiring nasi disampingnya diberi garam dan dengan lahapnya dimakan, terkadang juga aku yang duduk disampingnya disuapin. Hingga saat ini ku berpikir dan membayangkan begitu sederhananya orang-orang tua dulu, meskipun begitu mereka tetap bersyukur.
Menurut cerita ibuku, setelah bapak timbang meninggal dan saudara kandungnya meninggal juga, kakek ku diasuh oleh saudara dari bapaknya (pak Timbang). Harta, sawah dan tanah-tanahnya yang banyak itu jika menurut hukum agama dan negara otomatis diserahkan ke kakek ku, tetapi saat itu kakek ku masi kecil dan belum cukup umur maka semua “harta” tersebut dititipkan pada saudaranya pak Timbang yang membesarkan kakek ku tersebut. Setelah kakek ku besar dan menikah dengan nenek ku yang bernama Marni, beliau pindah rumah dan hidup sendiri di daerah Dinoyo. Pernah suatu hari beliau bercerita pada anaknya termasuk ibuku, mengenai hartanya itu tapi beliau dengan berwibawa dan keluhuran budinya kurang lebih berkata “jika suatu hari bapak (Pair) tidak ada tidak usah mengurusi harta warisan Bapakmu, saya doakan mudah-mudahan semua anak-cucuku dimampukan Tuhan agar mampu membeli rumah dan tanah sendiri-sendiri”. Sejak itulah anak-anak beliau tidak pernah mengurusi harta kekayaan warisan yang dititipkan bapaknya (Pak Timbang) pada saudaranya itu, walau beliau sendiri dan anak-anaknya benar-benar hidup dalam keterbatasan. Pernah suatu hari kekeku berkata pada anak cucunya, “dulu jaman belanda tidak bisa makan se enak ini” padahal saya lihat waktu itu makananya berupa nasi empok (nasi jagung),sayur bening/bayam, lauk ikan asin dan sambel trasi, kadang juga kekek ku ini jika perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi, beliau mengambil nasi yang sudah matang tapi sayur dan lauknya belum dimasak, setelah itu sepiring nasi disampingnya diberi garam dan dengan lahapnya dimakan, terkadang juga aku yang duduk disampingnya disuapin. Hingga saat ini ku berpikir dan membayangkan begitu sederhananya orang-orang tua dulu, meskipun begitu mereka tetap bersyukur.
Masa muda kakeku dan teman-temanya ini sangat berani,
pernah beliau bercerita mengenai perjuangan orang-orang seputaran desa Bawang,
Dinoyo dan sekitarnya. Ketika berperang mereka sering melempar granat kearah
belanda dan bersembunyi dibalik semak-semak karena waktu itu mereka berperang
gerilya, Sesuai panglima tertinggi waktu itu Pak Sudirman. Suatu hari saat aku
disuruh menjabut ubanya, aku melihat beliau membuka baju dan kulihat ada
benjolan dipunggungnya, hingga kutanyakan “mbah kung, iki kenek opo?” sambil ku
pegang-pegang, beliau menjawab “iki bekase perang karo londo biyen, ojo di
otek” saat itu juga aku langsung gak berani memegang-megang lagi.
Selain itu aku juga pernah mendengar cerita dari tetangga
yang sudah tua, kurang lebihnya dia bilang “ mbah mu biyen iku uwong kendel ndek
mbioro, jamene tretek sek teko pring lek banjir mesti treteke kenyot, lek
isuk-isuk ngunu mbahmu wes nyabrangi kali brantas padahal gak ono wong sing
wani nyabrang kali” dan itulah cerita keberanianya menyebrangi sungai brantas
yang masih banjir besar untuk membantu membangun jembatan dari bambu kembali
agar orang-orang bisa menyebrang.
Pernah juga aku tidak sengaja melihat keris pusakanya
disimpan di almari bajunya, kerisnya sungguh bagus dan hingga saat ini, aku
tidak tahu kemana keris tersebut berada. Menurut cerita dari anak-anaknya keris
itu diambil mas edi, ada juga yang bilang jika keris tersebut kembali
keasalnya, dan ada juga yang bilang keris tersebut tertanam ditempat terakhir
keris itu disimpan. Ada juga yang bercerita jika didalam kamar kakek setelah
meninggal ada yang dilihati sosok ular besar, dan menurut keluarga mungkin itu
jelmaan dari keris tersebut yang tertanam ditempat itu.
Semasa hidupnya Kakeku sering juga mengajak bermain
anak-anak disekitar rumahnya dengan mengajari sulap dan triknya untuk menghibur,
ketika anak-anak kecil berkumpul beliau sering menunjukan kehebatan bermain
sulapnya ala pak tarno hingg membuat anak-anak yang berkumpul saat itu tertawa
lepas.
Itulah sedikit cerita mengenai kakek ku yang bernama Pair
Alm. Semoga Amal dan Kebaikanya diterima disisih Nya, Amin, Al Fatehah...
Mlg, 071215